国产高潮高潮久久久久久_中日韩激情无码一级毛片_一区二区精品在线观看视频_香蕉aa三级久久毛片_日韩精品一区二区三区无码免费_91精品欧美综合在线观看_x8x8拨牐拨牐x8免费视频_人伦人与牲口性恔配视频免费_又大又硬的视频国产在线_中文亚洲av片在线观看不卡

Ketika Raja Bali Ziarah dan Menyaksikan Reruntuhan Majapahit

Waktu rilis:2025-01-23 00:46:44

OLXTOTO - Orang Bali memiliki keterikatan emosional-historis pakde4ddengan Majapahit, kerajaan di tepi Sungai Brantas. Migrasi orang Majapahit ke Bali kemungkinan telah berlangsung sejak abad ke-14 M sebagaimana diceritakan dalam Babad Dalem.

Dikutip dari I Gusti Made Suarbhawa dalam “Bali Pasca Ekspedisi Gajah Mada” (2002) yang melampirkan keterangan dari Babad Dalem, awalnya migrasi orang Majapahit dipicu oleh agenda kampanye militer Gajah Mada ke Bali pada tahun 1256 ?aka atau 1334 Masehi. Gajah Mada menunjuk seorang brahmana dari Kadiri bernama Sri Kresna Kepakisan agar menjabat posisi raja Bali yang telah kosong.

Ketika Raja Bali Ziarah dan Menyaksikan Reruntuhan Majapahit

Sosok inilah yang kemudian dipercaya sebagai perwakilan Majapahit di Bali. Saat pindah ke Bali, ia ditemani lima belas orang arya (punggawa), tiga orang wesia (aparatur), dan beberapa sudra (masyarakat biasa). Sejak saat itu, wilayah Bali yang tunduk di bawah Majapahit dikuasai oleh kerajaan bawahan yang pemerintahannya bercorak budaya Jawa, yakni Kerajaan Gelgel yang berpusat di daerah Klungkung sekarang.

Namun demikian, Babad Dalem sebenarnya bukan teks yang se-kuno itu. Menurut Helen Creese dalam “Balinese Babad as Historical Sources: a reinterpretation of the Fall of Gèlgèl” (1991), naskah yang berisi teks Babad Dalem tarikh tertuanya berasal dari tahun 1805 dan 1812. Naskah tertua Babad Dalem berasal dari Puri Klungkung yang merupakan suksesor langsung Kerajaan Gelgel.

Turunan teks Babad Dalem salinan naskahnya tersebar hampir ke seluruh wilayah Bali. Masing-masing naskah diberi judul dengan nama kerajaan atau kepentingan dari raja yang berkuasa di tempat naskah itu disalin.

Judul-judul naskah turunan Babad Dalem menurut Creese di antaranya Babad Ksatriya, Babad Mengwi, Babad Buleleng, Babad Blabatuh, Babad Arya Tabanan,dan sebagainya. Naskah-naskah itu terus-menerus disalin bahkan sampai awal abad ke-20 menjelang keruntuhan Hindia Belanda.

Baca juga:

  • Manuver Politik Mahendradatta Meneguhkan Posisi Perempuan
  • Tidak Ada Matahari Kembar di Selat Bali

Babad Dalem dan Ziarah Raja Bali ke Majapahit

Di antara banyak naskah Babad Dalem yang tersedia sampai sekarang, ada satu versi naskah Babad Dalem yang cukup menarik untuk diamati. Naskah tersebut oleh I Wayan Warna dkk. dalam Babad Dalem: Teks dan Terjemahan (1986) disebut sebagai Babad Dalem B, yang salah satu bagiannya menceritakan soal ziarah seorang Raja Bali era Gelgel ke Majapahit.

Bagian ini sangat khas karena hanya ditemukan pada naskah Babad Dalem B. Mengenai identitas naskah Babad Dalem B, Warna dkk. menyebut bahwa naskah tersebut berasal dari koleksi I Gusti Lanang Mantra yang menetap di Sidemen, Karangasem (Bali timur).

Selain itu, naskah ini merupakan salah satu di antara sedikit (atau mungkin tidak ada sama sekali) naskah tradisional yang diketahui menyinggung soal tinggalan Kerajaan Majapahit. Artinya, kesadaran akan sejarah Majapahit beserta tinggalannya masih melekat di benak kolektif masyarakat Bali.

Dalam Babad Dalem versi Lanang Mantra itu, cerita ziarah Raja Gelgel ke Majapahit diawali dengan puji-pujian terhadap keagungan Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk. Dikisahkan pula bahwa Kerajaan Gelgel ketika itu dipimpin oleh Dalem Samprangan yang tunduk pada kekuasaan Hayam Wuruk.

Uraian mengenai kedua hal itu kemudian disambung peristiwa jatuhnya Majapahit yang berlangsung secara tiba-tiba pasca moksa-nya Raja Hayam Wuruk. Kejatuhan kerajaan tersebut telah menyebabkan perpecahan di daerah-daerah bekas wilayah taklukannya. Kekuasaan Majapahit dalam babad ini dikisahkan diwarisi oleh Pasuruan, Blambangan (Banyuwangi), dan Bali.

Waktu pun bergulir, sampai Dalem Samprangan di Gelgel kemudian digantikan oleh seorang raja muda bernama Dewa Ketut (dalam sumber lain disebut Dalem Ketut Smara Kepakisan). Suatu ketika Dewa Ketut diundang oleh Raja Madura untuk menghadiri upacara yaj?a (ritual persembahan). Dalam perjalanan menuju Madura, Dewa Ketut sempat mampir ke bekas ibu kota Majapahit—dalam naskah disebut Majalangu.

Sesampainya sang raja di sana, ia merasa sedih lantaran melihat bekas ibu kota Majapahit sunyi senyap dan hilang keindahannya. Ia mengenang para leluhurnya yang senantiasa membanggakan kunjungan ke ibu kota Majapahit yang gagah berwibawa karena dihuni Raja Hayam Wuruk.

Di tengah kegalauan, tiba-tiba datang seorang pandita bernama Siwa Waringin. Menurut si penulis naskah, sang pandita tidak ikut punah seperti Majapahit karena tercerahkan pengetahuan (wêt ning limpad ing pangawruh).

Baca juga:

  • Sejarah Lokasi Pusat Kerajaan Majapahit: Benarkah di Trowulan?
  • Ketika Rakyat dan Raja Bali Bertempur Sampai Mati

Alasan Hancurnya Majapahit dalam Babad Dalem versi Sidemen

Kedatangan Siwa Waringin menimbulkan rasa penasaran di benak Dewa Ketut, ia pun bertanya kepada sang pendeta mengenai alasan sirna dan hancurnya Majapahit. Siwa Waringin mengatakan bahwa alasan utama kehancuran Majapahit adalah telah datangnya masa trayuga.

Selain itu, sang pendeta juga menjelaskan banyak orang Majapahit ketika itu telah memiliki trimedha (tiga kecerdasan) tetapi bodoh dalam hal sastra. Di samping kehancuran intelektual masyarakat, wafatnya Raja Hayam Wuruk juga telah menyebabkan para pembesar Majapahit menjadi bingung.

Berikut ungkapan kebingungan para pembesar Majapahit sesuai dengan keterangan Siwa Waringin dalam Babad Dalem versi Lanang Mantra:

“Saling berdebat tentara dan menteri, berebut ingin dijadikan pemimpin. Sama-sama tidak menginginkan dibawahi rekannya. [Saling] memusuhi seperti dirasuki Kala Bhuta. Dibenaknya tidak ada orang yang melebihi daripada dirinya. Akhirnya jadi menyimpang. [Itulah] sebab kalau sering membuat acara mabuk-mabukan, ucapan mereka [jadi] kasar. Mereka saling membunuh, saling [menusuk dengan] pedang antar rekan.”

Setelah peristiwa itu, kemudian disebutkan datang Sanghyangyang berwujud Kāla bermata satu, yang mengucapkan “suwung, suwung” (kosong, kosong). Demikian perkataan Sanghyang itu dilantunkan, bersamaan pula hancurnya seluruh masyarakat Majapahit yang mendengar.

Setelah mendengar cerita Siwa Waringin, Dewa Ketut berkata dalam hatinya: “tidak tergambarkan orang-orang yang hidup, tiada bercabang yang senang [dan] yang susah, yang hidup menjadi mati, yang mati menjadi hidup, terus [begitu].”

Komentar pengguna(0)
Belum ada yang membalas, ambil sofanya...
Saya ingin mengatakan dua hal(Balasan Anda merupakan dukungan yang besar bagi penulis!)

Berita hangat yang mungkin menarik minat Anda

menyukaiOLXTOTO,Lalu tekan bagikan!