国产高潮高潮久久久久久_中日韩激情无码一级毛片_一区二区精品在线观看视频_香蕉aa三级久久毛片_日韩精品一区二区三区无码免费_91精品欧美综合在线观看_x8x8拨牐拨牐x8免费视频_人伦人与牲口性恔配视频免费_又大又硬的视频国产在线_中文亚洲av片在线观看不卡

Ondomohen, Kampung yang Bermula dari Bunga

Waktu rilis:2025-01-23 03:12:24

OLXTOTO - Sebuah gapura bertuliskan “Kampung Ondomohen” berdiri tegak di bilangan Ondomohen Magersari V,surga88 Kelurahan Ketabang, Kecamatan Genteng, Surabaya. Tanaman hijau nan rimbun berjejer rapi di teras-teras rumah, seolah memberi warna bagi kampung yang diapit oleh bangunan beton. Kicau burung di beberapa sudut rumah membuat kampung kian hidup.

Saya datang ke kampung itu pada Jumat (3/1/2025), kala terik matahari kembali menghunjam Kota Surabaya. Sehari sebelumnya hujan turun tanpa mengenal rasa kikir. Saya menghampiri seorang pemuda yang tengah bertukang, ia lalu mengantarkan saya ke rumah seseorang yang dianggap telah mengubah wajah kampung ini.

Ondomohen, Kampung yang Bermula dari Bunga

Menunggu sekitar 5 menit di teras rumah, ia akhirnya muncul: seorang pria berkacamata, mengenakan kaos putih bergambar logo Honda, dan celana panjang berwarna abu.

Baca juga:Eisen jadi Bukti Kancah Musik Surabaya sedang Bergemuruh

Dari Kampung Gersang Menjadi Kampung Oase

“Dulunya Kampung Ondomohen ini panas dan gersang. Belum ada pohon-pohon seperti ini. Juga belum tertata seperti ini,” pria yang akrab disapa Musmulyono mengawali ceritanya.

Ia menjelaskan mulanya tak ada niat untuk mengubah kampung ini menjadi lebih asri. Hanya saja, ia memiliki hobi mengoleksi tanaman bunga yang ditaruh di teras rumahnya.

Dari satu dua tanaman bunga yang dibeli, lama-kelamaan bunga yang ia koleksi mencapai 40 buah. Tentu tak cukup bila semua tanaman bunga itu dipajang di teras rumahnya yang tak cukup besar. Ia pun mulai menitipkan tanaman bunga itu ke tetangga-tetangganya.

“Saya pikir yang penting nggak mengganggu akses jalan dan aktivitas mereka. Eh, ternyata mereka malah senang,” ujarnya.

Niat untuk mengubah kampung mulai muncul ketika Kelurahan Ketabang mengadakan program “Sajisapoh” (Satu Jiwa, Satu Pohon) pada tahun 2001. Program ini mensyaratkan bagi siapapun yang tinggal di kelurahan tersebut untuk membawa satu pohon yang tingginya minimal 2 meter ketika hendak mengurus data kelahiran anak atau Kartu Keluarga (KK).

Nantinya, pohon tersebut akan dikirimkan ke wilayah RT/RW yang kelihatan gersang. Sayangnya, tak ada RT/RW yang tertarik akan program itu. Banyak pohon akhirnya hanya menumpuk di kelurahan. Ketimbang tak ada yang memanfaatkan, ia pun meminta izin lurah untuk membawa semua pohon tersebut ke wilayah RT-nya.

“Sebenarnya program itu bagus. Tapi kok banyak RT/RW yang nggak tertarik. Saya pikir sayang kalau pohon itu cuma jadi pajangan aja di kelurahan. Mending saya bawa semuanya ke RT saya. Seingat saya, saat itu saya membawa pohon jambu biji, mangga, sama sawo kecik. Setiap jenis itu saya bawa 10 buah,” terangnya.

Potret Musmulyono, salah satu sosok inovator di Kampung Ondomohen, Jumat, (3/1/2025). tirto.id/M. Akbar Darojat Restu Putra

Lima belas tahun kemudian, kegersangan tak tampak lagi di Ondomohen. Musmolyono dan warga lainnya sumringah. Melihat perubahan di belahan kampungnya, lurah pun berniat mendaftarkannya dalam lomba eco green.

Mula-mula Musmulyono menolak. Ia menganggap kampungnya masih seperti bunga yang baru mekar. Banyak hal yang menurutnya masih perlu digarap. Lagi pula kriteria ajang itu memang bukan hanya soal unjuk keasrian, tapi juga soal pengelolaan sampah, kualitas kesehatan, inovasi ekonomi, dan sebagainya.

Lurah mengamini permintaannya lalu mendatangkan fasilitator lingkungan ke Kampung Ondomohen. Saat datang, fasilitator lingkungan terkesima melihat panorama kampung itu.

Mereka mendorong Musmulyono dan warga lain untuk mengikuti ajang kampung tersebut. Menurut mereka, bukan hasil lomba yang penting, tapi agar warga lain terdorong untuk berpatisipasi mewujudkan kampung yang lestari dan berkelanjutan. Musmulyono pun akhirnya setuju.

“Pada saat ikut lomba kampung di tahun 2016, kami nggak masuk tiga kampung terbaik. Tapi yang penting banyak warga yang akhirnya sadar untuk menjaga lingkungan kampung ini menjadi lebih hijau lagi,” ujar pria yang berumur 51 tahun itu.

Baca juga:

  • Belajar Merasa Cukup Bersama Komunitas Joli Jolan
  • Inovasi Ketahanan Pangan Berbasis Singkong di Kampung Cireundeu

Urban Farming Bukan Hanya Menanam Sayur

Selama membangun dan merawat Kampung Ondomohen, Musmulyono memahami bahwa untuk memproduksi pangan di perkotaan yang perlu dilakukan memang mempraktekkan urban farming. Namun, ia menganggap aktivitas itu bukan hanya menanam sayur, tapi juga menjalankan apapun yang dapat menghasilkan pangan.

Maka itu, selain menanam sayur semacam kangkung, ia juga mendorong warga untuk menanam tanaman keras seperti mangga, sirsak, jambu air, dan sebagainya. Menurutnya, tanaman itu tak hanya menghasilkan buah yang sedap untuk dikonsumsi, tapi juga kaya manfaatnya bagi kesehatan.

“Tanaman keras yang ditanam di sini kan semuanya bisa jadi obat herbal. Entah mangga, sirsak, jambu air, dan lain-lain. Misal nih, daun mangga itu bagus untuk mengontrol tekanan darah tinggi. Jadi, ketika warga memanfaatkan itu mereka tak lagi pergi ke apotek," ujarnya.

Selain menanam tanaman buah, ia bersama warga lainnya juga mulai memanfaatkan selokan untuk dijadikan kolam ikan. Dananya sebagian berasal dari patungan warga, dan sebagian lainnya berasal dari Dinas Cipta Karya. Mereka membuat kolam sepanjang 50 meter dengan kedalaman 40 cm yang diisi lele, gurami, dan ikan lainnya.

Kolam itu kemudian dikenal sebagai “Kolam Gendong.” Pasalnya, di dalam selokan itu bukan hanya ada kolam ikan, melainkan juga pipa saluran limbah rumah tangga berukuran sekitar 6 inci yang berfungsi untuk menggendong limbah agar ikan tidak tercemar dan dapat dikonsumsi.

Hasil yang diperoleh dari budidaya ikan model itu dirasakan sekali oleh warga. Mereka tak cuma bisa menyantap ikan, tapi juga menjualnya. Misalnya, 1000 bibit ikan lele yang ditebar oleh warga di masa awal pembiakan, 60 persen dijual dan 40 persen untuk konsumsi sendiri. Keuntungan dari hasil penjualan dialirkan lagi untuk mengembangkan budidaya ikan tersebut

Botol yang dimanfaatkan sebagai wadah untuk menanam bunga Jumat (3/1/2025). tirto.id/M. Akbar Darojat Restu Putra

“Kolam ini dibuat tahun 2017. Pas awal panen yang beli salah satu restoran yang ada di sekitar sini. Saat itu, sekilo di harga 20 ribu rupiah. Kami menjual sekitar 60 persen dari pembibitan. Jadi ya kami dapat sekitar 12 juta. Sejak saat itu, tetangga-tetangga lain mulai berdatangan untuk membeli ikan,” ujar Musmulyono.

Namun, budidaya ikan bukan tanpa resiko. Bagaimanapun, lele dan nila adalah jenis ikan yang tak segan menyantap kawannya sendiri. Pemisahan dan pemilahan menjadi upaya efektif untuk mencegahnya.

“Kalau ikan lele itu ya memang kan kanibal. Jadi lele yang besar itu makan lele yang kecil. Makanya kalau udah kelihatan besar itu dipindahin. Kalau nila sebenarnya aman saja, cuma kalau ikan nila bertelur, kawan-kawannya menyerbu telur itu,” ungkapnya.

Meski demikian, warga pantang menyerah untuk terus membudidayakan ikan. Sebab, mereka bisa langsung memakan ikan dari hasil jerih payah mereka sendiri.

Baca juga:Masyarakat Pasundan dan Kecintaan Terhadap Ikan Air Tawar

Terus Melakukan Inovasi

Menurut Musmulyono, inovasi di Kampung Ondomohen mesti terus digencarkan. Selain mempraktekkan urban farming, ia juga berharap soal perbaikan pengelolaan sampah. Dalam hal ini, botol plastik yang dulunya dikumpulkan untuk langsung dijual, kini dibikin kerajinan tangan yang menghasilkan nilai jual lebih. Ia menyebut model pengelolaan sampah ini sebagai ecobrick.

“Sofa yang saya duduki ini berasal dari botol plastik, Mas. Ini kalau dijual harganya 150 ribu rupiah. Bahkan sempat dipesan sama Universitas Kristen Petra,” katanya.

Namun, inovasi terbesar adalah pemakaian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai sumber daya terbarukan. Mengenai ini, ada cerita di baliknya. Pada tahun 2022, sekelompok mahasiswa IT Telkom datang ke Kampung Ondohomen untuk menjalankan program pengabdian masyarakat.

Waktu itu, mereka mengusulkan pada warga untuk menggunakan PLTS guna menunjang perekonomian. Mereka pun mengatakan akan setia mendampingi dan memfasilitasi warga untuk menggunakan alat itu. Akhirnya, mereka membuat proposal yang diajukan ke Badan Riset dan Inovasi (BRIN) dan mendapatkan sokongan dana sebesar Rp50 juta.

“Saat ada PLTS, kami mulai memelihara kepiting sama lobster. Tapi untuk menjalankan alat ini, kami nggak bisa sendiri. Sampai sekarang pun kami masih berkonsultasi sama mahasiswa IT Telkom yang sekarang sudah menjadi Universitas Telkom,” terangnya.

Sejak kehadiran PLTS, biaya yang digelontorkan untuk budidaya ikan berkurang hingga hampir separuhnya. Dari awalnya Rp350 ribu, kini warga hanya perlu merogoh kocek Rp150 ribu.

Inovasi ecobrick dan PLTS tersebut, bagi Mulyono, menjadi contoh bahwa warga Kampung Ondomohen terus berkembang, tak peduli bila ada pihak atau kelompok yang mengangapnya aneh. Bagi Musmulyono, kemajuan sebuah kampung terletak pada usaha untuk terus berkembang tanpa mendengar olokan dari mereka yang ingin membuatnya stagnan atau bahkan mundur.

“Sebagus apapun yang kami lakukan pasti ada yang nggak suka. Tapi kalau kami menuruti sama yang nggak suka itu, kami ya nggak bakal maju. Kanjeng Nabi saja yang baik kayak gitu, banyak yang nggak suka. Apalagi kami,” pungkasnya.

Baca juga:

  • Kisah Petani di Surabaya Garap Lahan Terbatas Milik Pengembang
  • Kembang Api Ancaman bagi Kehidupan Hewan di Hutan Konservasi

Komentar pengguna(0)
Belum ada yang membalas, ambil sofanya...
menyukaiOLXTOTO,Lalu tekan bagikan!