Pasal tersebut mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold karena dipandang bertentangan dengan UUD 1945.
Yusril menjelaskan dengan pembatalan itu, setiap parpol peserta pemilu mendatang, berhak mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa ambang batas lagi.
"Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding)," kata Yusril melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (3/1/2025).
Yusril mengatakan semua pihak, termasuk pemerintah terikat dan tidak dapat melakukan upaya hukum apapun.
"Apapun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis," kata Yusril.
Yusril mengatakan setelah adanya tiga Putusan MK Nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberadaan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden itu, pemerintah secara internal tentu akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan pilpres 2029.
"Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan Presidential Threshold, maka Pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR," kata Yusril.
Pemerintah menyadari bahwa permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir ini dikabulkan.
Yusril memandang pemerintah melihat ada perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu itu dibanding putusan-putusan sebelumnya.
"MK berwenang menguji norma undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Yusril.
Dalam keterangan terpisah, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengungkapkan pemerintah akan berkoordinasi dengan DPR dan penyelenggara pemilu untuk membentuk rekayasa konstitusional.
Hal itu dilakukan untuk mematuhi pedoman yang diberikan MK agar capres dan cawapres tidak terlalu banyak saat Pilpres dilaksanakan, meskipun presidential thresholddihapuskan.
"MK juga berpandangan bahwa banyaknya calon itu juga tidak menjamin sebuah proses demokratisasi yang dijamin oleh konstitusi," kata Supratman.
Sebelumnya, MK memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak.
Pedoman pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Baca juga:
- DPR Jamin Tindaklanjuti Putusan MK Hapus Presidential Threshold
- Respons Parpol Setelah MK Hapus Presidential Threshold20 Persen
- PDIP Dorong Rekayasa Koalisi usai Presidential ThresholdDihapus