Baca juga:
- Hasil Quick CountPilpres 2024 Terkini Semua Lembaga Survei
- Hasil Pileg 2024 Versi Quick Count Terbaru
- Jokowi Minta Warga Lapor Jika Temukan Kecurangan Pemilu
Berdasar rangkumanTirto,klasemen persib per Jumat (16/2/2023) pukul 07.16 WIB, perhitungan lima lembaga survei (SMRC, Indikator, Populi Center, Charta Politika, dan Poltracking), menempatkan Prabowo-Gibran unggul dengan suara mencapai lebih dari 57 persen.
Namun, dominasi Prabowo-Gibran tak tercermin di tingkat legislatif. Padahal, Prabowo dan Partai Gerindra adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya.
Baca juga:PDIP Unggul Sementara di Pileg 2024, tetapi Tak Sekuat Dulu
Hasil hitung cepat Pileg 2024 (utamanya dari Populi Center, Charta Politika, dan Poltracking yang telah mengolah lebih dari 92 persen data) menunjukkan, Partai Gerindra perolehan suaranya lebih kecil dibanding Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar).
Hasil quick countPopuli Center (sudah mengolah 99,88 persen data) mengungkap PDIP masih sebagai partai peraih suara terbanyak (16,33 persen), diikuti Golkar 15,54 persen, dan Gerindra 13,94 persen.
Menilik situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pukul 06.31 WIB (suara masuk 9,12 persen), PDIP ada di posisi teratas dengan 17,02 persen suara, disusul Golkar dan Gerindra masing-masing 13,81 persen dan 12,39 persen suara.
Sebelumnya, hasil survei elektabilitas dari sejumlah lembaga menunjukkan, posisi dua partai teratas cenderung diperebutkan PDIP dan Gerindra. Beberapa survei bahkan menunjukkan elektabilitas Gerindra sempat lebih tinggi dari PDIP.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Kuskridho Ambardi memandang, suara untuk Prabowo-Gibran banyak datang dari luar pendukung Gerindra.
Analisis Dodi—panggilan akrabnya—ada tiga faktor pendongkrak suara Prabowo-Gibran di luar dari pemilih Partai Gerindra. Faktor pertama adalah Prabowo sebagai pribadi. Citra negatif yang sempat menyertai mantan Danjen Kopassus itu terbenam dalam keruhnya informasi selama masa kampanye.
Ia memandang, selama masa kampanye—dan bahkan sejak beberapa tahun lalu—figur Prabowo memang tidak lagi lekat dengan kesan keras dan kaku, Prabowo bahkan tampil dengan pesona "Gemoy" yang menarik perhatian anak muda.
Baca juga:Saat Gen Z Menangis Lihat Prabowo Diserang Anies-Ganjar di Debat
Faktor berikutnya adalah partai koalisi yang mendukung Prabowo-Gibran. "Meskipun kalah kuat dibanding faktor personal kandidat, pada masa kampanye partai koalisi memasang tanda gambar Prabowo juga. Tentu, para pemilihnya tetap memberikan suara ke partai untuk pileg-nya, sementara pilpres diberikan ke Prabowo," terang Dodi.
Faktor ketiga yang justru menjadi kunci adalah faktor Jokowi. "Kita sebut saja faktor ketiga ini sebagai tesis logistik," ujarnya.
Ia menjelaskan, kemampuan logistik akan menentukan kesempatan kandidat untuk memenangkan Pilpres 2024 atau Pemilu secara umum. Pihak yang kemampuan logistiknya kuat bisa membeli iklan televisi secara masif, menyewa billboarddi banyak titik strategis, dan memobilisasi "relawan" dalam jumlah besar di berbagai wilayah.
Baca juga:Media Asing Sorot Negatif Kemenangan Prabowo
Keberadaan berbagai perangkat kampanye itu membuat kehadiran kandidat menjadi tertanam di benak dan memori masyarakat. Adanya dukungan logistik dalam jumlah besar itu kemudian membedakan nasib elektoral masing-masing pasangan. Efek dukungan Jokowi (meski tidak secara langsung) juga mengangkat suara untuk Prabowo-Gibran.
"Kalau kita pakai istilah Jokowi effect, efek itu bekerja pada pilpres dan kurang bekerja pada level partai. Jokowi eksplisit berada di pihak pasangan nomor dua, dan membawa dampak elektoral," ujar Dodi.
Dari penuturan Dodi, Jokowi tidak pernah mengarahkan dukungan ke salah satu partai politik sehingga efek elektoral darinya tidak dapat dinikmati partai politik manapun.
"Tapi ketika Jokowi melalui Kaesang yang dicomotkan untuk menjadi ketua PSI, efek itu tidak signifikan. Sejauh yang saya amati, Jokowi tidak mengasosiasikan diri dengan Gerindra, karena itu efek jokowi tidak ke Gerindra," tandasnya.
Baca juga:PSI Optimistis Tembus ke Senayan, meski Masih Harap-Harap Cemas
Menurut analis komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, fenomena tidak terdongkraknya suara Gerindra meski Prabowo-Gibran menang telak, disebabkan karena kebiasaan pemilih di Indonesia.
Ia memandang, di Indonesia masih banyak pemilih yang pilihan capres-cawapresnya tidak sejalan dengan pilihan partainya.
"Pemilih kita [di Indonesia], masuk TPS itu dengan dua kepala. Satu kepala untuk partai, satu lagi untuk pilpres," kata Kunto saat dihubungi Tirto, Jumat (16/2/2024).
Kunto menambahkan, kemungkinkan ada pemilih Prabowo yang merupakan pendukung Jokowi. Nah, pendukung Jokowi itu, untuk tingkat legislatif, tersebar mendukung Golkar, PAN, PSI, dan PDIP.
"Saya melihat [masalahnnya] bukan ketidaksesuaian citra Prabowo dan Gerindra, tetapi lebih pada Prabowo sebagai capres sangat dominan, sedangkan sebagai ketua partai, orang masih meragukan kapasitas partainya," pungkas Kunto.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email [email protected]