Selembar kain batik yang warnanya sudah mulai pudar, dipakai untuk menutupi paha, lutut, hingga kaki. Kain ini menjadi satu-satunya alat pelindung tubuh dari terpaan api dan asap dari tungku.
Oneh Rohanah adalah seorang penjual surabi di barat alun-alun Sumedang. Dalam kamus bahasa Kawi, surabhi artinya harum; wangi. Adonan surabi yang kaya akan kandungan kelapa akan menguarkan wangi khas ketika menyentuh cetakan tembikar yang sudah dipanaskan sebelumnya. Mungkin begitu maksudnya.
Oneh bangun tidur antara pukul 2 atau 3 dini hari. Setelah itu ia akan mempersiapkan adonan, membuat sambal oncom, dan mengemasnya hingga rapi. Tidak lupa ia mengikat setumpuk kayu bakar yang ia cari dan pilih sendiri di siang harinya untuk sekalian diangkut. Baru kemudian ia berangkat pada pukul 4 pagi. Kalau di hari sebelumnya sudah banyak pesanan, Oneh datang lebih pagi. Terkadang jam 3 dini hari dia sudah mulai menyalakan bara api di lapaknya.
Saya jadi teringat Jay Fai, chef dan ikon makanan kaki lima di Bangkok, yang juga mengandalkan keajaiban api dalam setiap masakannya.
“I have faith in charcoal fires and iron woks. They taught me to be clever. They taught me to be brave”.
Begitulah sabdanya dalam serial dokumenter di Netflix, Street Food: Asia, episode Bangkok, Thailand. Jika Oneh Rohanah melapisi kakinya dengan kain batik, Jay Fai memakai kacamata yang biasa dipakai tukang las untuk melindungi matanya dari percikan api.
Setiap hari mereka berdua bergelut, berjibaku, dan menyambung hidup di hadapan gelora api. Kebetulan, dua-duanya adalah tulang punggung keluarga. Sumber kehidupan. Orang-orang yang masih memiliki pikiran usang bahwa perempuan adalah makhluk lemah, sesekali mesti bergaul dengan Jay Fai dan Oneh Rohanah, deh.
Baca juga:Masyarakat Pasundan dan Kecintaan Terhadap Ikan Air Tawar
Sama Sejak Dekade 1960
Ma’ Oneh, panggilan sayangnya dari pelanggan, masih menggunakan resep surabi yang sama persis dengan yang diracik ibunya di tahun 60-an. Bahan-bahannya terdiri dari tepung beras, parutan kelapa, garam dan air. Surabi khas Sunda, tidak menggunakan ragi seperti halnya serabi Solo. Dan surabi di Sumedang, tidak seperti ragam surabi di Bandung yang memiliki banyak taburan, seperti: keju, cokelat, durian, nangka, pisang, sosis dll. Ia tetap teguh dengan hanya memiliki 3 jenis pilihan: polos, oncom, dan telur.
Favorit saya adalah surabi telur yang diberi taburan oncom. Beginilah cara Ma’ Oneh membuatnya: ia akan menyiduk adonan surabi dengan sendok sayur, lalu menuangkannya ke cetakan tembikar yang sebelumnya sudah dibersihkan oleh ijuk yang diikat serupa sapu lidi, kemudian ia akan mengocok telur di mangkuk kecil, dan mengucurkannya ke adonan di cetakan. Selanjutnya, oncom yang sudah dihancurkan dan dicampur dengan irisan daun bawang, ditaburkan di atasnya.
Surabi matang dengan cepat karena apinya berkekuatan tinggi. Cukup dipanggang selama 3-4 menit, surabi sudah siap diangkat. Dan tidak ada yang lebih nikmat dari surabi yang masih mengepul panas, yang pantatnya menghitam karena sedikit kegosongan, dan dibanjur sambal oncom dengan tendangan pedas yang malu-malu.
Di lapaknya yang terbuka tanpa atap, Ma’ Oneh menerima titipan dagangan dari penjual lain, seperti: bala-bala, tempe goreng, rempeyek kacang dan teri. Kalau ada program surabi pairing, buat saya yang paling cocok mendampingi surabi oncom telur ya bala-bala hangat, rempeyek kacang nan kriuk, dan teh tawar curot(panas sekali).
Baca juga:Tak Pernah Bosan Menyantap Pindang Ikan Mas Buatan Ibu
Infografik Miroso surabi Sumedang. tirto.id/Tino
Selain surabi buatannya yang menjadi idola warga Sumedang, Ma’ Oneh adalah sosok yang tak kalah tersohornya. Perempuan yang memiliki senyuman khas ini, adalah manusia yang blak-blakan, cair, dan humoris. Celetukan-celetukan iseng dan lucu darinya membuatnya dicintai banyak orang.
Contohnya saja beberapa waktu lalu, Ma’ Oneh terkena penyakit herpes dan mengharuskannya beristirahat hingga tujuh bulan lebih. Seluruh badannya gatal dan dokter mengharuskannya rawat jalan hingga benar-benar sembuh. Tentu saja selama tujuh bulan tersebut, lapaknya kosong. Tidak ada yang menggantikan, karena anak satu-satunya pun memiliki pekerjaan lain, dan tidak ada tarikan untuk melanjutkan usaha surabi ibunya kelak.
Sambil membungkus pesanan surabi untuk saya bawa pulang, ia berseloroh, “Basa Ema’ teu damang, hape meuni tang tung tang tung, pada nareleponan wae!” (Waktu Ema sakit, ponsel sering berbunyi, banyak yang menelepon—untuk menanyakan kabar).
Para pelanggan kelabakan dan kehilangan. Meski tak jauh dari lapaknya ada penjual surabi lain, tapi rasanya tentu tidak seenak bikinan the legendaryOneh Rohanah. Apalagi sambel oncomnya, tidak bisa bersaing menurut saya. Sambal oncom buatan Ma’ Oneh berbeda karena menggunakan oncom dage, yang bahan dasarnya adalah ampas tahu. Oncom yang dipakai penjual lain, biasanya terbuat dari ampas kacang kedelai. Tekstur dan rasanya kurang “kawin” dengan surabi.
Dari surabi, Ma’ Oneh bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya. Hasilnya lumayan, katanya. Berjualan surabi pun membuat ia bahagia, “Resep mun dagang teh, bisa cuci mata, jeung ngobrol jeung nu mareser,” (Senang kalau dagang tuh, bisa cuci mata dan ngobrol dengan para pembeli)”, ungkapnya.
Berjualan surabi, adalah laku hidup yang dipilih Oneh Rohanah selama ia masih mampu. Dan satu doanya selalu sebelum berangkat berjualan: semoga hari ini tidak hujan.