Merindukan Palumara Kala Menjadi Orang Asing di Tanah Jauh
"Untuk menikmati halaman belakang Istanbul, untuk menghargai juluran tanaman rambat dan pohon-pohonan yang memberkahi puing-puing dengan keagungan tanpa sengaja: pertama-tama dan paling penting, kamu harus menjadi orang asing terlebih dulu."
Didid Haryadi merasakan hal itu ketika ia berada di Istanbul, ribuan kilometer dari kampung halamannya di Bima, Nusa Tenggara Barat. Melankolia itu makin terasa di masa-masa tertentu, yang mengingatkannya pada masa kecil dan kehangatan keluarga seperti bulan Ramadan. Di waktu itu, ia rindu makanan khas kota kelahirannya sekaligus mungkin merasakan apa yang dirasakan oleh Pamuk.
Dari sana Didid penasaran ingin mencoba melamar beasiswa. Pada Ramadan 2014, Ia mendapat kabar baik, diterima di jurusan sosiologi di Istanbul University. Pada September 2014, akhirnya Didid tiba di kota yang dikenang Pamuk dengan sendu ini.
Sebagai mahasiswa, kegiatan Didid tak jauh dari kuliah dan mencari literatur untuk menggarap tugas. Akhir pekan, Didid kerap minum teh (?ay) ataupun kopi Turki (Türk kahvesi) bersama teman-temannya. Kadang disela dengan pergi ke toko buku, toko musik, mengunjungi museum, atau menghadiri workshopdan seminar gratis yang diadakan oleh kampus.
Karena Didid dan kawan-kawannya sesama orang Indonesia di Turki menggemari literasi, mereka membuat kelompok diskusi bernama Indonesia Turkey Research Community.
Di Istanbul, Didid tinggal di yurt, alias asrama. Yurt punya mudur, semacam induk semang yang berkantor dalam asrama dan memantau para penghuninya. Salah satu peraturan di asrama adalah tidak boleh memasak. Peraturan ini dibuat untuk mencegah kebakaran. Apa daya, tak ada kekangan yang cukup kuat mengurung hasrat menyantap makanan kampung halaman.
Didid dan kawan-kawan beberapa kali mencoba memasak makanan Indonesia. Senjatanya adalah: rice cooker.
"Kami pakai rice cooker buat masak nasi, opor ayam, goreng telur, atau memanaskan lagi ayam bakar," kata Didid terkekeh.
Karena fungsi yang sudah melenceng jauh, tak heran kalau alat ajaib milik mereka ini cepat rusak. Selama 3 tahun Didid tinggal di Istanbul, sudah 3 rice cookerberganti.
Agar kegiatan memasak ini tak ketahuan, jendela dibuka supaya aroma masakan minggat. Tak lupa, detektor asap ditutup dengan plastik dan lakban. Kadang mereka juga pakai heater untuk memasak dengan metode rebus. Mereka pernah kepergok, dan heater disita. Peraturan di yurtmemang ketat. Peralatan masak ini disimpan di bawah kasur. Sebab kalau ada sidak dan ditemukan alat masak semisal heater atau rice cooker, induk semang akan menyitanya.
"Tapi kami beli lagi, dan selalu masak tengah malam biar tak ketahuan," kata Didid tertawa geli.
Meski di Turki ada banyak suasana yang mengingatkannya pada Indonesia, dan karenanya bisa sedikit memupus rasa kangen, ada satu dan beberapa hal yang tak akan bisa digantikan. Masakan hasil laut buatan ibu Didid, misalkan. Sejak kecil, Didid dan seluruh anggota keluarga memang biasa menyantap masakan laut. Tinggal di Bima itu artinya kamu bisa membeli bahan makanan laut segar dengan harga lebih murah. Di Turki, kantongmu harus cukup dalam untuk bisa makan hasil laut.
Masakan andalan ibu Didid adalah palumara, masakan yang selama ini identik dengan Makassar. Bima dan Makassar memang punya hubungan erat sejak dulu, yang diperkirakan mulai sejak era Kesultanan Bima dan Kesultanan Gowa.
Karena hubungan yang terjalin sejak ratusan tahun lalu, wajar kalau ada banyak bentuk kebudayaan yang nyaris sama antara Bima dan Makassar. Salah satunya adalah palumara ini. Selain nama, inti masakan ini juga sama: kuah kekuningan dari kunyit dan punya cita rasa asam segar dari asam Jawa (kadang diganti dengan belimbing wuluh alias belimbing sayur). Ibu Didid biasa menggunakan ikan kerapu atau baronang sebagai bahan utama palumara.
Di keluarga Didid juga ada pembagian peran di dapur. Jika sang ibu memasak makanan utama, ayah Didid akan mengupas kelapa muda. Atau membuat do’co, kondimen yang terdiri dari mangga muda, tomat, bawang, cabe dan jeruk
Namun dari semua makanan Bima, yang membuat Didid begitu rindu rumah adalah dua jenis takjil yang hanya bisa ditemui di kampung halamannya itu: karedo maci kandole dan ba'e neba (ada yang menulisnya sebagai bae neba). Nama pertama adalah bubur yang berisi bulatan dari beras ketan kukus. Dari bentuk dan rasa, nyaris serupa dengan bubur sumsum biji salak yang banyak ditemui di Jawa. Makanan ini juga berbahan santan dan gula aren.
"Bedanya, karedo maci kandole itu bola-bolanya sebesar kelereng," ujar Didid.
Sedangkan ba'e neba lebih istimewa lagi, ujar Didid. Jajanan ini hanya ada di Bima pada saat bulan Ramadan. Selain itu, karena proses pembuatannya yang rumit dan butuh waktu lama, hanya sedikit orang yang bisa membuatnya. Hasilnya memang bikin masygul: coba ketik ba'e naba di Google. Nyaris tak ada hasil memuaskan. Nihil resep dan proses pembuatannya. Begitu pula gambarnya. Jika tak segera dibuat dokumentasinya, bisa jadi jajanan tradisional ini akan dilupakan kemudian hilang sama sekali.
"Bentuknya sih seperti kue bolu atau sarang semut yang dipotong per bagian gitu. Hanya saja, ba'e neba ini punya kuah berupa air gula," ujar Didid.
Di tanah jauh itu, Didid menjadi apa yang dibilang oleh Pamuk: orang asing bagi tanah kelahirannya. Sebelum kelak dia kembali, mencintai tiap julur tanaman rambat di halaman belakang rumahnya. []
saya ingin berkomentar
- kirim
Komentar Terbaru(0)
- tidak ada komentar
OLXTOTO menyarankan
- 2025-01-29 00:58:04Yusril Yakin Hambali Eks JI akan Bertobat dari Terorisme
- 2025-01-29 00:58:04Viral Pagar Laut di Bekasi, KKP Sudah Bersurat ke Pemiliknya
- 2025-01-29 00:58:04DJP Kaji Penghapusan PPN untuk Minyakita Imbas Harga Meroket
- 2025-01-29 00:58:04Menteri Agus Minta Klarifikasi WN Cina Taruh Uang di Paspor
- 2025-01-29 00:58:04Eva Kusuma Sundari Blak
- 2025-01-29 00:58:04Israel Serang Gaza di Tengah Proses Gencatan Senjata
- 2025-01-29 00:58:04Bantuan Mulai Masuk ke Gaza usai Gencatan Senjata Disepakati
- 2025-01-29 00:58:04KPK Periksa Ketua Gapensi Semarang di Kasus Korupsi Pemkot
- 2025-01-29 00:58:04Hotel & Bus Lebih Murah Jadi Faktor Turunnya Biaya Haji 2025
- 2025-01-29 00:58:04Pratikno Akui Penyaluran Makan Bergizi Gratis Belum Merata
Peristiwa Panas
- 2025-01-29 00:58:04Kenaikan Cukai Rokok dan Perlindungan Anak Jalanan
- 2025-01-29 00:58:04BGN Butuh Tambahan Rp100 T untuk Beri MBG pada 82,9 Juta Anak
- 2025-01-29 00:58:04Isi Kesepakatan Gencatan Senjata Israel & Hamas Mulai 19 Januari
- 2025-01-29 00:58:042 Anggota Polres Jakpus Disanksi Demosi 8 Tahun terkait DWP
- 2025-01-29 00:58:04Perspektif Hak Asasi Manusia bagi Kepariwisataan Indonesia
- 2025-01-29 00:58:04Isi Kesepakatan Gencatan Senjata Israel & Hamas Mulai 19 Januari
- 2025-01-29 00:58:04Polisi Tangkap 3 Pelaku Penjarah Mobil Pengangkut Daging MBG
- 2025-01-29 00:58:04Pergub 2/2025 Lindungi Keluarga ASN Lewat Aturan Nikah & Cerai
- 2025-01-29 00:58:04Kemendikti akan Atur Ulang Distribusi Dokter daripada Tambah FK
- 2025-01-29 00:58:04Polemik Pagar Laut Bekasi: DKP Jabar Ditegur, Swasta Kena Sanksi
Hotspot Terbaru
- 2025-01-29 00:58:04Menag Minta KPK Awasi Pelaksanaan Haji hingga ke Arab Saudi
- 2025-01-29 00:58:04Update Kebakaran Glodok Plaza: 8 Orang Dinyatakan Tewas
- 2025-01-29 00:58:04Kasus PMK di Bantul Bertambah: 337 Terjangkit, 37 Sapi Mati
- 2025-01-29 00:58:04Polisi Terima 7 Laporan Korban Hilang Kebakaran Glodok Plaza
- 2025-01-29 00:58:04Restart Peran Parlemen di Era Menguatnya Presidensialisme RI
- 2025-01-29 00:58:04KPK Batal Periksa Walkot Semarang Mbak Ita, Ini Alasannya
- 2025-01-29 00:58:04TNI Buru Desertir AD Penembak Rekannya di Bangka Belitung
- 2025-01-29 00:58:04Bulog: Penyaluran Beras SPHP Baru 9.367 Ton per Januari 2025
- 2025-01-29 00:58:04Peran LPS Menjawab Tugas Baru Penjamin Polis Asuransi di UU P2SK
- 2025-01-29 00:58:04Masalah DPR Bukan pada Kuantitas Parpol, tapi Kualitas Kerja