Tujuh Prasasti Yupa Digurat Mengiringi Fajar Sejarah Nusantara
Holle melaporkan bahwa di suatu tempat di wilayah Kesultanan Kutai telah ditemukan pilar-pilar batu bertulis. Bataviaasch Genootschap lantas menyurati Asisten Residen Kutai untuk mengonfirmasi kabar itu.
Dalam surat balasan tertanggal 9 September 1879, Asisten Residen Kutai memberi kabar bahwa penemuan pilar-pilar batu berinskripsi itu benar adanya. Persisnya, ada empat batu bertulis yang ditemukan di Bukit Berubus di hulu Sungai Mahakam (kini masuk wilayah Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur).
“Keempatnya tiba sebelum akhir tahun 1880 dan kemudian disimpan di bagian arkeologi Museum Batavia [Kini Museum Nasional Indonesia],” tulis Vogel.
Prasasti Kutai, demikianlah Vogel menyebut keempat tinggalan purbakala itu. Sebagian ahli purbakala menyebutnya Prasasti Muarakaman. Pembaca mungkin lebih familier dengan sebutan Prasasti Yupasebagaimana sering dicantumkan dalam buku-buku pelajaran Sejarah.
Seturut penelusuran Vogel, salinan inskripsi dari prasasti itu lantas dikirim pada ahli epigrafi Hendrik Kern. Lalu, kabar penemuan Prasasti Yupa itu tersiarlah dalam forum Royal Academy of Sciences di Amsterdam pada 13 September 1880.
“Profesor Kern pulalah yang kemudian membuat transkripsi dan terjemahan atas prasasti yang disusun dalam bahasa Sansekerta murni dan diperkirakan berasal dari abad ke-4 Masehi,” tulis Vogel.
Sejak saat itu hingga kini, prasasti-prasasti dari Muarakaman itu tercatat sebagai peninggalan tulisan tertua di Indonesia. Ia menjadi bukti terbitnya fajar sejarah Nusantara.
Baca juga:Nekara Makalamau, Tengara Era Protosejarah dari Pulau Sangeang
Tiga di antara 7 Prasasti Yupa asal Kerajaan Kutai Kuno yang kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia. tirto.id/Fadrik A. Firdausi
Kerajaan Bercorak Hinduisme
Tujuh Prasasti Yupa—tiga lainnya ditemukan pada 1940 di lokasi yang sama—tidak mencatat nama sebuah kerajaan. Para ahli purbakala lantas menyebutnya Kerajaan Kutai Kuno untuk mempermudah identifikasi.
Dari apa-apa yang melekat pada tujuh Prasasti Yupa itu, para arkeolog menarik kesimpulan bahwa kerajaan itu mekar dengan menyerap unsur-unsur budaya Hinduisme.
Nyata benar bahwa inskripsi pada yupa—tugu batu tempat mengikat hewan kurban—itu diguratkan dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta dari India. Aksara Pallawa sendiri merupakan sebutan dari arkeolog Nicolaas Johannes Krom untuk sistem huruf yang berkembang di Kerajaan Pallawa di India bagian selatan pada abad ke-4 hingga ke-9 Masehi.
Di abad-abad pertama tarikh Masehi, “sejarah” Kepulauan Nusantara dikabarkan oleh para musafir dari Tiongkok, India, bahkan Yunani. Itulah masa Protosejarah. Aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta lalu memberi masyarakat Kutai Kuno—juga masyarakat Nusantara secara umum—cara mengungkapkan diri dengan prakarsa sendiri.
“Masa Protosejarah tersebut berakhir ketika tulisan-tulisan pertama muncul dari Kerajaan Kutai Kuno dan Tarumanagara,” tulis arkeolog Agus Aris Munandar dalam bunga rampai Kaladesa: Awal Sejarah Nusantara(2017).
Prasasti Yupa atau Muarakaman I (bernomor D.2a) yang tersimpan di gedung baru Museum Nasional Indoneia. Ia memuat silsilah penguasa Negeri Kutai Kuno. tirto.id/Fadrik A. Firdausi
Selain tulisan, unsur-unsur budaya India lainnya akan terlihat lebih gamblang lagi jika kita membaca prasasti-prasasti berbahan batu andesit dari Muarakaman itu. Salah satu yang paling banyak dibahas adalah Prasasti Yupa I yang memuat 12 baris tulisan dan diinventarisasi dengan nomor D.2a.
"?rīmata ?rīnarendrasya,
ku?dungasya mahātmana,
putro‘svavarmmo vikhyāta,
va??akarttā yathāng?umān,
tasya putrā mahātmāna,
trayas traya ivāgnaya,
tesān trayānām pravara,
tapo-bala-damānvita,
?rī mūlavarmmā rājendro
yastvā bahusuvarnnakam,
tasya yaj?asya yūpo‘yam,
dvijendrais samprakalpita.”
“Sang Maharaja Kudungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang masyhur, Sang Aswawarman namanya, yang seperti Angsuman (Dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang mulia. Sang Aswawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari tiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan) yang dinamakan Emas-amat-banyak. Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana.”
(Berdasar terjemahan Poerbatjaraka, termuat dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah II, Kerajaan Hindu-Buddha [2012]).
Untunglah pahatan aksara Prasasti Yupa I itu masih amat baik keadaannya. Karenanya, para ahli epigrafi, seperti Kern, Krom, F.D.K. Bosch, dan Poerbatjaraka, bisa menguraikan isinya pada kita.
Wawasan utama yang bisa kita takik darinya adalah bahwa Negeri Kutai Kuno kemungkinan besar telah eksis sebelum para brahmana memahat prasasti tersebut. Dan mulanya, penguasa negeri itu bukanlah pemeluk Hinduisme.
Menurut Bernard H.M. Vlekke, hal itu tersirat melalui nama-nama penguasa Kutai Kuno yang tercatat dalam prasasti. Nama Kudungga menurut beberapa ahli bukanlah nama Sanskerta. Karenanya, hampir pastilah dia seorang elite bumiputra Nusantara yang belum memeluk Hinduisme.
Aspek Hinduisme baru menguar dari nama sang putra Aswawarman dan sang cucu Mulawarman. Silsilahnya memang dimulai dari Kudungga, tapi Aswawarman-lah yang kemudian disebut sebagai va??akarttā—Sang Pendiri Dinasti.
"Dari fakta-fakta ini, kita mungkin bisa menyimpulkan bahwa ada asimilasi gradual ke dalam budaya Hindu dari suatu kerajaan Indonesia yang sudah ada sebelumnya,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia(2016).
Infografik Mesin Waktu Yupa. tirto.id/Fuad
Indianisasi
Prasasti Yupa adalah petunjuk yang terang bahwa kebudayaan India berandil besar dalam mendorong transisi kebudayaan masyarakat Nusantara. Prasasti Yupa menjadi bukti dimulainya peralihan zamanyang signifikan dalam riwayat panjang Indonesia, dari Prasejarah menuju era Sejarah.
Namun, yang perlu diingat adalah bahwa kebudayaan India sebenarnya tidaklah “mengisi suatu negeri kosong”.
Kita telah mafhum bahwa Arca Buddha Dipangkara yang terdampar di Sampaga ditemukan bersama dengan tinggalan-tinggalan dari suatu masyarakat bertradisi Neolitik Akhir.
Baca juga:Arca Buddha Dipangkara, Jejak Terawal Kontak India dan Nusantara
Hal itu seperti yang dirumuskan George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha(2017) bahwa, “Waktu bertemu, orang India tidak menghadapi ‘orang primitif’ yang tidak berkebudayaan sedikit pun, tetapi sebaliknya orang-orang yang sudah mengalami pengaruh peradaban tertentu yang ciri-cirinya ada yang sama seperti dalam peradaban India pra-Aryan.”
Arca Buddha Dipangkara juga telah memberi kita petunjuk bahwa kedua kebudayaan itu bertemu melalui kontak perdagangan maritim. Kontak itulah, menurut arkeolog Peter Bellwood dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia(2000), yangkemudian merangsang lahirnya “negeri-negeri dagang” di Nusantara sejak sekira abad ke-2 Masehi.
Begitu pun yang terjadi di Negeri Kutai Kuno. Letak negeri ini berdasar titik penemuan tujuh Prasasti Yupa sebenarnya cukup jauh pesisir. Namun, di dekat titik penemuan itu, arkeolog rupanya juga menemukan sisa-sisa kapal Tiongkok.
Terbukalah kemungkinan bahwa perdagangan internasional pun telah merasuk lebih dalam ke daerah hulu Sungai Mahakam.
“Bukti temuan itu (kapal Tiongkok) bisa dikatakan bahwa Muarakaman pernah menjadi tempat perdagangan yang disinggahi oleh kapal-kapal laut,” terang Kern dalam “Over de Sanskrit-opsrichften van (Muara Kaman) in Kutei (Borneo) (± 400 A. D)” yang dimuat dalam Verspreide Geschriften VII(1917).
Detail guratan aksara Pallawa berbahasa Sanskerta pada Prasasti Yupa II (bernomor D.2b). Ia mencatat kedermawanan Raja Mulawarman yang telah bersedekah ribuan ekor sapi di tanah suci Waprakeswara. tirto.id/Omar Mohtar
Lebih jauh lagi, Gunadi Kasnowihardjo dalam studi “Kutai, Tonggak Sejarah Nasional Indonesia” yang terbit dalam jurnal Naditira Widya (Vol. 1, No. 1, 2007) menjelaskan bahwa Sungai Mahakam dan Sungai Kedangrantau yang jugamelintasi Muarakaman telah digunakan untuk lalu lintas perdagangan sejak masa prasejarah.
Bersamaan dengan meluasnya arus perdagangan itu, proses persentuhan budaya punterjadi lebih intens. Di ambang masa Sejarah, orang-orang terpelajar dan agamawan India rupanya juga turut serta menuju Kepulauan Nusantara. Menurut Coedes, kaum merekalah yang kemungkinan besar memperkenalkan sistem politik, kepercayaan, serta tentunya aksara dan bahasa.
“Sehubungan dengan itu telah dilancarkan hipotesis bahwa orang brahmana, yang menurut kaum pedagang terkenal karena kesaktian mereka, mungkin saja dipanggil oleh pemimpin-pemimpin bumiputra untuk meningkatkan kekuasaan dan martabat mereka,” tulis Coedes.
Yang terjadi kemudian adalah akselerasi. Seperti petunjuk yang melekat pada Prasasti Yupa, hasil persentuhan budaya nan intens itu akhirnya benar-benar mekar sempurna pada abad ke-4 dan ke-5 Masehi.
Bertitik tolak dari Kutai Kuno, Nusantara melesat memasuki zaman baru.
==========
Mesin Waktuadalah program terbaru di kanal Mild Report Tirto.id yang bertitik kisar pada arkeologi dan sejarah. Berbeda dari naskah-naskah sejarah kami yang membahas peristiwa atau masa tertentu, program ini menjadikan artefak koleksi museum sebagai titik tolak untuk membaca perjalanan sejarah Indonesia. Melalui program ini, kami membawa pembaca menelusuri Museum Nasional Indonesia dan meneroka cerita serta menggali pengetahuan dari benda-benda bersejarah yang menjadi koleksinya.
Setiap minggu, program Mesin Waktu akan terbit setiap Jumat di kanal Mild Report.
saya ingin berkomentar
- kirim
Komentar Terbaru(0)
- tidak ada komentar
OLXTOTO menyarankan
- 2025-02-02 17:10:49Buron Kasus Korupsi e
- 2025-02-02 17:10:49Koalisi CekFakta: Langkah Meta Bisa Picu Penyebaran Hoaks Masif
- 2025-02-02 17:10:49BP Taskin Buka Peluang Investasi Teknologi dari Hong Kong
- 2025-02-02 17:10:49Saksi Ahli di Kasus Korupsi Timah Dilaporkan ke Polda Babel
- 2025-02-02 17:10:49Evaluasi Mendiktisaintek Tetap Sah, Meski Persoalan Telah Islah
- 2025-02-02 17:10:49Respons Pigai soal Perusahaan yang Belum Pekerjakan Difabel
- 2025-02-02 17:10:49Edy Rahmayadi Minta MK Batalkan Kemenangan Bobby
- 2025-02-02 17:10:49KPK Yakin Penyidik Bekerja Profesional Menangani Kasus Hasto
- 2025-02-02 17:10:49Pertaruhan KPU: Siapkan Pilkada & Pulihkan Kepercayaan Publik
- 2025-02-02 17:10:49Luhut Klaim MBG Dongkrak Ekonomi Desa & Buat Anak
Peristiwa Panas
- 2025-02-02 17:10:49Ridwan Kamil: Peluang Maju Jabar 1, DKI hingga Tawaran Menteri
- 2025-02-02 17:10:49Danpomal: Pembunuh Wanita Tanpa Busana di Sorong Anggota TNI AL
- 2025-02-02 17:10:49Polisi Harus Responsif, Usaha Rental Jangan Jadi Korban Lagi
- 2025-02-02 17:10:49Mengenal Micro
- 2025-02-02 17:10:49Belajar Melepas Jerat Impor BBM dari Malaysia
- 2025-02-02 17:10:49Status Quo Pimpinan Parpol: Feodalisme di Alam Demokrasi
- 2025-02-02 17:10:49Melihat Solo Lebih Dekat Bersama Soerakarta Walking Tour
- 2025-02-02 17:10:49Erick: Indonesia Dapat Keuntungan Perdagangan dengan Masuk BRICS
- 2025-02-02 17:10:49BGN Ungkap Keterlibatan TNI di MBG Hanya Sementara
- 2025-02-02 17:10:49Ratusan Guru Honorer Geruduk DPRD Jabar Tuntut Kepastian Status
Hotspot Terbaru
- 2025-02-02 17:10:49Klinik Swasta akan Dilibatkan dalam Program Cek Kesehatan Gratis
- 2025-02-02 17:10:49PIK 2 Bantah Bangun Pagar Laut Misterius di Tangerang
- 2025-02-02 17:10:49Menkes Nilai Wajar Peluncuran Perdana Program MBG Bermasalah
- 2025-02-02 17:10:49Fenomena Demam Koin Jagat: Antara Hiburan & Kebutuhan Finansial
- 2025-02-02 17:10:49Jakarta, Menjadi Kota Global atau Kembali Jadi DKI?
- 2025-02-02 17:10:49Bahlil Klaim Tidak Mau Andalkan APBN untuk Proyek Hilirisasi
- 2025-02-02 17:10:49Ahok Diperiksa KPK, Klaim Korupsi LNG Ditemukan di Zamannya
- 2025-02-02 17:10:49Arief Budiman usai Diperiksa KPK: Enggak Ada yang Baru
- 2025-02-02 17:10:49Dirjen PDSPKP: Susu Ikan Inovasi untuk Capai Kemandirian Protein
- 2025-02-02 17:10:49Mega Kritik Kerja KPK di HUT PDIP: Yang Diubrek