Dari Gorengan Hingga Tahu Gimbal: Yang Dirindukan dari Semarang
Novelis George Orwell pernah mengolok makanan Inggris, begitu pula penulis kuliner Bill Marsano. Bahkan mantan Presiden Prancis, Jacques Chirac pernah mengatakan betapa buruknya makanan Inggris dalam acara G8 Summit, 2005 silam. "Kamu enggak bisa mempercayai orang atau negara yang punya kultur makanan enggak enak. Inggris Raya adalah kawasan dengan makanan paling enggak enak setelah Finlandia," katanya.
Dalam film Today's Special, ejekannya malah makin dahsyat. Film itu berkisah tentang seorang sous chefdi sebuah restoran fine diningdi New York. Samir, koki berdarah India itu, memilih keluar dari tempatnya bekerja dan terpaksa mengurusi restoran India milik sang bapak yang jatuh sakit. Di sana, ia bertemu dengan pengemudi taksi yang jago memasak bernama Akbar. Samir yang selama ini mendapat pendidikan masak Prancis harus pontang-panting belajar tentang masakan India yang punya bumbu kompleks.
"Coba kalau yang menjajah kita itu Prancis. Bayangkan mahakarya kuliner Prancis berpadu dengan keluhuran kuliner India yang punya sejarah panjang. Kuliner India akan lebih dahsyat. Tapi malahan kita dijajah Inggris, yang pencapaian kuliner terbaiknya selama 2.000 tahun adalah fish and chips!"
Beruntung, Inggris tetap bertahan jadi negara besar yang dijadikan tujuan migrasi banyak orang dari berbagai belahan dunia. Para migran ini yang kemudian mengenalkan kultur kuliner negaranya. Inggris boleh saja punya makanan tradisional yang biasa-biasa saja—kalau tak mau dibilang buruk—tapi di sana kamu bisa menemukan berbagai jenis makanan internasional, juga bumbu-bumbu yang diperlukan.
Aghnia Adzkia juga merasakan hal yang sama. Beberapa tahun silam, Aghnia melanjutkan studi di Goldsmiths, University of London. Perempuan kelahiran Semarang ini tentu merindukan makanan Indonesia. Untungnya, ia mudah mencari bumbu masakan Indonesia.
"Mencari bahan masakan Indonesia itu gampang. Karena di sini ada China Town, banyak bumbu dari Indonesia. Di dekat tempat aku tinggal ada satu area yang isinya toko berjualan bumbu dan peralatan masak. Ada bumbu dari Vietnam sampai Afrika. Cuma, beda rasanya dengan yang di Indonesia. Misal seperti daun salam, di Indonesia lebih segar," ujarnya.
Mantan jurnalis CNN Indonesiaini selalu mengingat tradisi Ramadan di keluarganya dengan baik. Nia—panggilan akrabnya—adalah anak kedua dari empat bersaudara. Sejak remaja, Nia dan saudara-saudaranya sudah terbiasa merantau. Pada 2009, Nia merantau ke Yogyakarta untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada. Begitu pula kakaknya yang pernah tinggal di Australia dan Thailand. Adiknya juga merantau ke Mesir.
Karena itu, kesempatan berkumpul termasuk langka. Sebisa mungkin kesempatan itu dimaksimalkan. Buka bersama sering dilakukan.
Saat buka bersama, hidangan yang selalu ada di meja makan keluarga Nia adalah: gorengan.
"Mendoan nyaris selalu ada karena itu makanan favorit kami sekeluarga." Untuk penyegar tenggorokan, kolak nyaris selalu ada. Bergantian dengan setup pisang, juga es kelapa muda. Nia menyebut ibunya selalu heboh dalam menyediakan hidangan berbuka.
Untuk lauk utama, Ibu Nia punya masakan andalan berupa semur telur. Ketika Nia merantau, resep itu menjadi andalannya untuk bersantap. Sebagai mahasiswa rantau, menghemat isi dompet adalah kewajiban. Memasak sendiri jadi solusi paling baik.
"Semur telur mudah dibuat. Cuma perlu kecap, kemiri, daun salam, juga serai. Bahannya mudah dicari juga," ujar Nia.
Namun semudah-mudahnya mencari bahan makanan di Inggris, juga sebanyak-banyaknya makanan internasional di London, Nia tidak bisa menemukan satu makanan Semarang favoritnya: tahu gimbal. Makanan ini berupa perpaduan tahu goreng, rajangan kol, lontong, tauge, telur, dan gimbal, yakni udang yang digoreng dengan tepung. Makanan ini lantas dibanjur kuah kacang.
Menurut salah seorang kawan saya yang merupakan penulis kuliner, Rizkie Nurindiani, tahu gimbal Semarang punya benang merah dengan kuliner Semarang lain: rasa dan aroma bawang putih yang kuat. Hal ini karena makanan Semarang punya pengaruh kuat dari kuliner Cina yang punya tiga bahan kunci: bawang putih, jahe, dan daun bawang.
Rizkie sendiri punya anggapan, kalau makanan di Semarang punya jejak rasa bawang putih yang kuat karena pengaruh ini. Namun, pengaruh ini kemudian dipadukan lagi dengan pengaruh kuliner lain. Hasilnya, rasa bawang putih kuat yang merupakan tradisi kuliner Cina menyatu dengan rasa Jawa yang punya sentuhan rasa manis.
"Buatku, tahu gimbal yang identik dengan kota Semarang memiliki dasar rasa yang mirip – kuah dengan rasa dan aroma bawang putih kuat. Begitu juga makanan Semarang lain, seperti lumpia rebung. Untuk menikmati jajanan ini, biasanya ditemani dengan saus yang dibuat khusus dari bawang putih," kata Rizkie.
Saya menulis soal tahu gimbal ini sembari mengingat ketika datang ke Semarang beberapa tahun silam, untuk menemui seorang sahabat sedari SMA yang bekerja di sana. Kereta sampai di Stasiun Tawang lepas pukul 10 malam. Perut keroncongan, dan si teman mengajak saya makan tahu gimbal.
Seporsi tahu gimbal datang dengan asap yang mengepul tipis, dibuat setelah dipesan. Saya makan dan nyengir. Saus kacangnya lebih encer ketimbang saus kacang yang pernah saya cicip --entah pecel atau di batagor dan siomay. Namun benar kata Rizkie, aroma bawang putihnya kuat.
Tak perlu waktu lama untuk menandaskan seporsi tahu gimbal ini. Rasanya hangat, seperti rumah. Tak heran kalau Aghnia, juga para perantau dari Semarang, akan merindukan masakan ini.
saya ingin berkomentar
- kirim
Komentar Terbaru(0)
- tidak ada komentar
OLXTOTO menyarankan
- 2025-01-31 10:51:36Dorongan Stimulus Pemulihan Ekonomi
- 2025-01-31 10:51:36DPR Usul Pemerintah Bentuk Saluran Pengaduan Pelaksanaan MBG
- 2025-01-31 10:51:36KAI Catat Penjualan Tiket Capai 3,6 Juta selama Libur Nataru
- 2025-01-31 10:51:36Tak Hanya Perkara Finansial, Judi Online Juga Masalah Kejiwaan
- 2025-01-31 10:51:36Mimpi Khofifah, Ingin Jatim Jadi Referensi Rekonsiliasi Nasional
- 2025-01-31 10:51:36KPK Ingatkan Pidana bila PDIP Halangi Penggeledahan Rumah Hasto
- 2025-01-31 10:51:361 Anggota Polri Disanksi Demosi 5 Tahun di Kasus Pemerasan DWP
- 2025-01-31 10:51:36DPR Akan Revisi UU Demi Kuota Haji dari Negara Asia Tengah
- 2025-01-31 10:51:36Keadilan Pemilu dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
- 2025-01-31 10:51:36Ombudsman Imbau Pemerintah Buat Saluran Pengaduan Program MBG
Peristiwa Panas
- 2025-01-31 10:51:36Menhub Ingin Maskapai Fly Jaya Sudah Beroperasi sebelum Lebaran
- 2025-01-31 10:51:36Tak Hanya Perkara Finansial, Judi Online Juga Masalah Kejiwaan
- 2025-01-31 10:51:36Polisi Tangkap 1 Pelaku Perampokan di Tol Akses Tanjung Priok
- 2025-01-31 10:51:36Apakah Student Loan Solusi Mahalnya Biaya UKT?
- 2025-01-31 10:51:36Analisis Connie Bakrie soal Siapa Terunggul di Debat Capres
- 2025-01-31 10:51:36Polisi Tangkap 1 Pelaku Perampokan di Tol Akses Tanjung Priok
- 2025-01-31 10:51:36Dana Pribadi Prabowo pada Program MBG Berpotensi Langgar Aturan
- 2025-01-31 10:51:36Wahyu Setiawan Klaim Tak Tahu Uang Suap Harun Masiku dari Hasto
- 2025-01-31 10:51:36James Bond dan Realita Penyiksaan di Indonesia
- 2025-01-31 10:51:36Aturan Penggunaan Senpi Anggota TNI Sudah Saatnya Diperketat
Hotspot Terbaru
- 2025-01-31 10:51:36KPK, Kejaksaan, & Polri Siap Bawa Paulus Tannos Pulang ke RI
- 2025-01-31 10:51:36Mendikdasmen Kaji Pasar Modal Bisa Masuk ke Matematika & Ekonomi
- 2025-01-31 10:51:36Juru Masak MBG Akui Sulit Atur Menu dengan Anggaran Rp10 Ribu
- 2025-01-31 10:51:36Menakar Potensi & Risiko Penggunaan Teknologi Digital Afterlife
- 2025-01-31 10:51:36Menikmati Wisata Perahu Kali Pepe saat Perayaan Imlek di Solo
- 2025-01-31 10:51:36Aturan Penggunaan Senpi Anggota TNI Sudah Saatnya Diperketat
- 2025-01-31 10:51:36Kala Kelas Menengah Berolahraga: Aku Lari, Maka Aku Ada
- 2025-01-31 10:51:36Kubu Risma
- 2025-01-31 10:51:36Jokowi soal Polemik HGB di Laut Tangerang: Dicek Proses Legalnya
- 2025-01-31 10:51:36Juru Masak MBG Akui Sulit Atur Menu dengan Anggaran Rp10 Ribu