Sup Manten, Elegan dalam Kesederhanaan
Sewaktu kecil, saya cukup sering menghadiri pesta pernikahan di area Surakarta dan sekitarnya. Berbeda dengan kondangan masa kini yang hidangannya disajikan secara prasmanan, ditambah aneka gubuk yang bisa dipilih, kondangan di Surakarta dan sekitarnya sebagian besar masih menggunakan tata cara USDEK (unjukan, sup, dahar, es lajengkondur).
Konsep ini juga sering disebut ‘piring terbang’. Alias para among tamu di pesta pernikahan ini akan membawa piring, dan aneka menu suguhan ini dihantarkan langsung ke tempat duduk para tamu, sesuai dengan urutan tadi. Tidak perlu mengantri dan berdesak-desakan di meja prasmanan, atau berjalan ke tiap-tiap gubuk.
Ketika menyantap sup di sistem USDEK untuk pertama kalinya, tak ayal saya cukup heran.
“Bu, ini sup nya kok sedikit sekali isinya? Kuahnya juga," bisik saya.
Kata Ibu, ini porsi yang wajar. Sup manten, kata Ibu menyebut hidangan ini, isinya memang sedikit karena nanti masih ada nasi dan es sebagai penutup.
“Biar tidak kekenyangan,” jelas ibu saya kala itu. Jawaban ini saya yakini hingga saya dewasa.
Meski porsi dan isiannya sedikit, sup manten menjadi salah satu menu sajian kondangan yang selalu saya nantikan. Kekurangan dari segi porsi dan ragam isian, ditutupi oleh kuah kaldu yang rasanya selalu gurih dan menyegarkan. Disajikan hangat, sup menjadi pembuka yang tepat sebelum masuk ke hidangan utama. Jika tamu datang dalam keadaan perut kosong, ia akan nyaman dan tak kaget ketika nanti nasi ramesan disajikan.
Komponen isiannya bisa dihitung dengan jari satu tangan: dua atau tiga kerat wortel, sejumput bihun atau tiga buah makaroni, dan beberapa suwir ayam, terkadang juga diganti rolade yang tipis atau beberapa potong sosis pucat. Yang tak boleh ketinggalan adalah jamur putih, kacang kapri, dan bawang goreng. Kadang ada juga kentang dalam bentuk beberapa helai keripik. Semua isian itu lantas disiram kuah bening gurih berkaldu.
Jarang sekali sup manten disajikan bersama nasi, selalu disajikan sebagai suguhan tunggal. Kehadirannya di antara urutan kudapan dan nasi rames bisa jadi sebab mengapa sup manten tak disajikan dengan nasi atau bentuk karbo lainnya.
Penyajian sup manten ini sangat khas, isiannya sedikit tapi kuahnya banyak jika dibandingkan dengan rasio isiannya. Ngoplah-oplah, begitu ibu saya menyebutnya. Namun selain karena alasan fungsinya sebagai makanan pembuka, ternyata sup manten punya makna khusus.
Beberapa literatur yang saya baca menyebutkan bahwa sup manten yang berisi aneka jenis sayur dan kondimen pelengkapnya menjadi simbol sikap saling menghargai dan menyatunya perbedaan di antara kedua mempelai.
INfografik Miroso Sup Manten yang sederhana tapi elegan. tirto.id/Tino
Isiannya yang sedikit dan bagi saya cenderung tampak tidak niat, ternyata bukan pula tanpa alasan. Jumlahnya yang cuma sekerat dua kerat dengan kuah yang rasanya sederhana, menyimpan makna simbolis. Sajian sup manten tersebut melambangkan kesederhanaan yang diharapkan diteladani mempelai berdua. Kehidupan yang akan mereka hadapi tak selalu baik, karenanya kesederhanaan perlu dijadikan tuntunan.
Selain kedua makna yang disebutkan tentang betapa sederhananya tampilan sop manten ini, ternyata ada alasan lain yang menurut saya paling masuk akal. Alasan lain ini saya temukan ketika saya dewasa dan sering ikut ibu saya membantu meracik hidangan di hajatan saudara. Komponen sop manten ini sangat fleksibel dan tidak ada pakem yang wajib dipenuhi sehingga bisa disesuaikan dengan anggaran si empunya kerja. Dari jenis sayur hingga komponen proteinnya, sangat mungkin diubah sesuai keadaan.
“Kalo (dananya) nggak cukup buat pesen rolade atau sosis, ya pakai ayam suwir saja sudah cukup,” kata Ibu suatu ketika.
Alasan lain yang juga diungkapkan Ibu tentang sedikitnya isi hidangan sup manten adalah perkara kuantitas. Sebagai orang yang sering ikut rewangandi kondangan atau hajatan manten di desa-desa, stok bahan kadang tak sebanding dengan jumlah tamu yang datang.
Racikan sop manten ini dinilai paling luwes direkayasa dari segi jumlahnya sehingga bisa dibagi rata ke semua tamu yang hadir. Jika di piring-piring awal wortelnya ada tiga kerat, maka ketika stok mulai menipis tapi tamu masih terus berdatangan, maka jumlah wortel bisa dikurangi menjadi dua kerat saja. Hal ini juga berlaku untuk bahan-bahan lainnya, bahkan kuah supnya.
Mungkin saat ini tak lagi banyak kondangan yang menyajikan sup manten karena berbagai alasan. Namun jika kita perhatikan di hajatan yang masih menggunakan sistem ‘piring terbang’, rangkaian sajian yang hadir sudah diperhitungkan porsi dan entitas rasa kenyangnya pada masing-masing orang.
Bagi pemilik hajat, cara ini juga dianggap lebih memuliakan tamu karena diberikan satu set sajian dari awal hingga akhir. Lain halnya jika kita datang di pesta prasmanan yang mana tamu harus “berjuang” mendapatkan makanannya, baik dengan mengantri atau berdesak-desakan. Kadang tak jarang antrean ini membuat tempat acara pernikahan jadi seperti arena gladiator.
Pada kondangan semacam ini sebenarnya ada beberapa varian sup lain yang bisa dihidangkan, seperti sup matahari atau sup kimlo. Namun, bagi saya pribadi, sup manten memang paling pas. Terlepas dari makna yang disematkan di dalamnya, sajian ini menjadi salah satu pengingat bagi saya jika kita sedang berada dalam acara pernikahan.
Aroma, rasanya dan suasananya, paling pas dinikmati di kondangan. Ketika saya mendapat sup manten yang kuahnya sudah dingin pun, rasanya tetaplah istimewa dengan segala kesederhanaanya.
saya ingin berkomentar
- kirim
Komentar Terbaru(0)
- tidak ada komentar
OLXTOTO menyarankan
- 2025-01-29 01:28:12Menghadapi Misinformasi di TikTok Jelang Pemilu
- 2025-01-29 01:28:12Komite Percepatan Transformasi Digital Dibuat demi Pajak Lancar
- 2025-01-29 01:28:12Skandal Korupsi Pejabat VOC di Pantai Barat Sumatra
- 2025-01-29 01:28:12Alasan Honda Indonesia Recall CR
- 2025-01-29 01:28:12Pria Tewas Bunuh Diri usai Lompat dari Lantai 11 Mal PVJ Bandung
- 2025-01-29 01:28:12Update Harga Pangan: Cabai Merah Masih Mahal, Rp70 Ribu per Kg
- 2025-01-29 01:28:12Indonesia Tetap Paling Dermawan, Meski Dana Sering Diselewengkan
- 2025-01-29 01:28:12Kelanjutan HGBT Belum Jelas, Daya Saing Industri Rawan Melemah
- 2025-01-29 01:28:12Anggota Polres Merangin Disanksi akibat Main Sirine Mobil Dinas
- 2025-01-29 01:28:12Kata Dirjen Pajak soal PPN Air Mineral yang Terlanjur 12 Persen
Peristiwa Panas
- 2025-01-29 01:28:12Menghitung Kerugian Finansial WHO Jika Amerika Serikat Hengkang
- 2025-01-29 01:28:12Ibu Hamil di Jakarta Dapat Makan Bergizi Gratis Mulai 9 Januari
- 2025-01-29 01:28:12Asteris, Tanda Bintang untuk Catatan Kaki hingga Dialog Online
- 2025-01-29 01:28:12Gen Z, Di Antara Pengangguran dan Jerat Gig Economy
- 2025-01-29 01:28:12Sertifikat HGB di Laut Sidoarjo Beda dengan di Tangerang
- 2025-01-29 01:28:12Masalah Etika dan Keamanan Data di Balik AI Pendamping
- 2025-01-29 01:28:12Kemenperin Tak Beri Tenggat Waktu Negosiasi dengan Apple
- 2025-01-29 01:28:12Panglima TNI Mutasi Kepala BSSN, Basarnas dan Wagub Lemhanas
- 2025-01-29 01:28:12Rencana Amnesti KKB Papua Harus Berlanjut pada Dialog Humanis
- 2025-01-29 01:28:12Polisi Tangkap 1 Pelaku Perampokan di Tol Akses Tanjung Priok
Hotspot Terbaru
- 2025-01-29 01:28:12Kilas Balik Gibran Cawapres Prabowo versi Orang Dekat Jokowi
- 2025-01-29 01:28:12Kronologi Penggelapan Mobil Rental Berujung Penembakan oleh TNI
- 2025-01-29 01:28:12Kejati Tahan Kadisbud Jakarta Nonaktif Iwan di Rutan Salemba
- 2025-01-29 01:28:12Saat Nyawa Seviana Tertolong karena Pertolongan Aipda Anditia
- 2025-01-29 01:28:12Surya Tjandra Buka
- 2025-01-29 01:28:12Menhan Sjafrie Bertemu Menhan Jepang Bahas Transfer Teknologi
- 2025-01-29 01:28:12Pengacara Alvin Lim Meninggal Dunia
- 2025-01-29 01:28:12Menag Lobi Arab Saudi agar Jatah Pembimbing Haji Tak Dikurangi
- 2025-01-29 01:28:12Merunut Siapa Bertanggung Jawab atas HGB Pagar Laut di Tangerang
- 2025-01-29 01:28:12Dosen Universitas Bandung Kesal Pihak Yayasan Absen Audiensi